Jakarta l Badilag.net

Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) mentaati sepenuhnya peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan peradilan agama untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perbankan syariah. Asbisindo juga percaya, peradilan agama dapat melaksanakan kewenangannya itu sebaik-baiknya.

“Karena kurang adanya komunikasi, selama ini terjadi salah paham,” kata Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat Asbisindo, Benny Witjaksono, dalam pertemuan nonformal dengan pimpinan Kamar Agama dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung di Jakarta, Rabu (25/11/2015).

Ketua Kamar Agama Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum hadir bersama hakim agung Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. dan Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag Dr. H. Hasbi Hasan, M.H.

Selain Benny Witjaksono, Pengurus Pusat Asbisindo yang turut serta adalah Muhammad Busthami, Tri Widiyono dan Astika Dewi.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah media massa menyiarkan pernyataan individu-individu dalam Asbisindo yang memberi kesan seakan-akan Asbisindo kurang percaya kepada peradilan agama. Padahal, penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi seharusnya dilakukan di peradilan agama, bukan di peradilan lain, sebagaimana diatur dalam UU 3/2006, UU 21/2008 dan putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.

Menurut Benny, keadaan demikian bisa terjadi karena belum adanya kesamaan persepsi. Untuk itu, diperlukan komunikasi yang baik antara Asbisindo dan pihak-pihak terkait.

“Kami senang sekali diajak bicara seperti ini. Jadi, kita bisa mengetahui akar masalahnya di mana, lalu jalan keluarnya bagaimana,” tuturnya.

Dalam kesempatan ini, Prof Abdul Manan berupaya meyakinkan Asbisindo bahwa peradilan agama telah siap dalam berbagai aspek untuk menangani perkara perbankan syariah. “Ini sebenarnya kewenangan yang tergolong baru buat kami, yaitu sejak 2006. Meskipun kewenangan baru, kami sudah sangat siap,” ujarnya.

Salah satu aspek yang dibenahi, menurut Prof Manan, ialah insfrastruktur Pengadilan Agama (PA). Sekarang, gedung-gedung PA sudah jauh lebih bagus dan berwibawa. “Dulu gedung-gedung PA itu kecil-kecil dan lokasinya di gang tikus,” ungkapnya.

Aspek SDM juga ditingkatkan. Sekarang ratusan hakim telah mengikuti pelatihan ekonomi syariah. Pelatihan-pelatihan itu ada yang diselenggarakan di dalam negeri dan ada pula di luar negeri seperti di Saudi, Sudan dan Inggris dalam bentuk short course.

Regulasi juga menjadi salah satu aspek yang diperhatikan. Setelah adanya UU 3/2006 yang memberi kewenangan peradilan agama menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah, MA bergerak cepat dengan menyusun dan menerbitkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang merupakan hukum materi. Sekarang MA juga sedang menyiapkan hukum acara yang hasilnya akan berupa Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah (KHAES).   

“Insya Allah kami sudah sangat siap. Bapak-bapak percayalah kepada kami,” kata Prof Manan.

Ia juga berharap agar ke depan tidak lagi muncul salah persepsi. “Kami sangat senang kalau Asbisindo memberi masukan-masukan kepada kami, daripada disuarakan di media massa,” ujarnya.

Mengapa ke peradilan lain

Dalam pertemuan yang berlangsung sekira satu jam itu terungkap fakta menarik. Benny Witjaksono mengatakan, 90 persen nasabah perbankan syariah adalah nasabah rasional. Artinya, mereka jadi nasabah bank syariah lebih karena mengharapkan profit dan benefit yang lebih besar.

“Dan hanya 10 persen nasabah yang emosional,” tuturnya. Yang ia maksud adalah nasabah yang memilih bank syariah karena alasan agama untuk menghindari riba.

Nah, 90 persen nasabah rasional itu pada umumnya tidak tahu bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi harus dilakukan di peradilan agama.

“Jadi perlu ada sosialisasi yang massif, salah satunya dengan menggunakan media-media sosial, agar orang mengerti tentang kewenangan peradilan agama,” ujarnya.

Di samping itu, menurut Tri Widiyono—pengurus Asbisindo bidang hukum—ada kecenderungan para advokat lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah ke peradilan lain ketimbang ke peradilan agama.

Ia sendiri tidak tahu pasti penyebabnya. “Karena mereka memberi tafsir yang berbeda terhadap UU Perbankan Syariah atau mungkin karena mereka lebih familiar ke peradilan lain,” ujarnya.

Ke depan, pihak Asbisindo berharap agar mereka dapat mengetahui perkembangan-perkembangan terkini mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah di peradilan agama.

“Kami ingin tahu sekali, bagaimana sih sebenarnya para hakim peradilan agama menyidangkan perkara perbankan syariah. Kami ingin mempelajari panduannya, agar kami punya gambaran yang jelas,” ucapnya.

Akan ditindaklanjuti

Pertemuan ini digagas oleh Dirbinadmin Badilag Hasbi Hasan. Menurutnya, pertemuan ini sangat penting untuk diselenggarakan, agar para stakeholders di bidang ekonomi syariah memiliki persepsi yang sama soal kewenangan peradilan agama. Pertemuan serupa telah dilakukan dengan pihak Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Bahkan kita sekarang masuk dalam working group perbankan syariah, bersama BI, OJK, DSN MUI dan Ikatan Akuntan Indonesia,” ujar Hasbi Hasan.

Ia bersyukur, Asbisindo dapat memahami posisi dan kewenangan peradilan agama. Dengan demikian, kesalahpahaman yang selama ini terjadi dapat diakhiri.

Ke depan, para pihak yang hadir dalam pertemuan nonformal ini sepakat untuk membuat rencana aksi yang konkret, misalnya dengan membuat pertemuan formal, seminar, kajian putusan, bedah buku, dan lain-lain.

“Kita perlu mem-follow up secepatnya. Kemungkinan kita mulai awal tahun depan,” ujar penulis disertasi tentang kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah itu.  

[hermansyah]